Kamis, 11 April 2013

Mencegah MDR-TB, bukan Mengobati



“Kami sudah terbiasa mendapat dan menangani kasus MDR-TB di RS Persahabatan karena fungsi rumah sakit ini sebagai pusat rujukan nasional untuk penyakit respirasi” ujar Dr. Elisna Syahruddin PhD, SpP(K), di ruang praktek RS Persahabatan Jakarta Timur ketika ditanyakan tentang kasus tuberkulosis .
Kata-kata awal Elisna bukanlah ucapan yang menganggap enteng Multi Drugs Resistence Tuberculosis ( MDR TB). Cerita selanjutnya yang mengalir dari Koordinator Riset Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan ini adalah mengenai kekhawatiran dia tentang penyakit ini. Meski Indonesia telah sukses menurunkan peringkat insiden tuberkulosis dari urutan ketiga menjadi kelima di dunia, kasus MDR menjadi bahaya ‘baru’ yang mengancam dan tidak boleh lengah diwaspadai.
Ada sejumlah alasan mengapa para dokter spesialis paru seperti Elisna, cemas dengan MDR-TB ini. Pertama, terapi MDR TB membutuhkan waktu terapi yang lebih lama, sekitar 18 bulan. Padahal, pasien Indonesia untuk pengobatan TB biasa (tampa penyulit lain) yang ‘hanya’ membutuhkan waktu 6 bulan, masih banyak memiliki faktor yang me njadi hambatan untuk suksesnya terapi.  Mulai faktor ekonomi, hingga keengganan berobat akibat kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya TB paru. Waktu yang lebih panjang tentu membutuhkan upaya yang lebih keras agar pengobatan berhasil. Jika pada TB yang kebanyakan  masih sensitive untuk semua obat  antituberkulosis (OAT)  linipertama tingkat kesembuhan bisa di atas 95 persen, maka pada MDR-TB tingkat kesembuhan sulit mencapai 50 persen. Alasan kedua, pengobatan MDR-TB  juga  harus menggunakan OAT lini-kedua dan sebagian obat itu belum tersedia secara luas di Indonesia. “Paduan obat untuk MDR-TB yang menggunakan lini kedua juga lebih memiliki efek samping dan lebih toksik,” ungkap Elisna. Alasan ketiga dijawab dengan lugas : “Terapinya lebih mahal.”
Kasus MDR-TB pertama kali dilaporkan dari Amerika Serikat, khususnya pada pasien tuberkulosis dan AIDS yang menimbulkan angka kematian sekitar 70 hingga 90 persen dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Penderita MDR-TB primer di Amerika, menurut data CDC sekarang telah berhasil diturunkan dari sekitar 400 kasus pada tahun 1993 menjadi 100an kasus di tahun 2009 lalu.
Indonesia, seperti yang diungkap Elisna, mulai banyak ditemukan pasien MDR TB. Data dari Kementrian Kesehatan yang diungkap Prof. Dr.Tjandra Yoga Aditama Sp.P(K) menyatakan sampai dengan bulan Oktober 2010 telah terdapat 473 suspek penderita, dan sebanyak 158 dinyatakan mengalami MDR TB. Indonesia menurut data WHO Global Report 2009, menduduki urutan ke8 dari 27 negara dengan kasus MDR-TB terbanyak. Setiap tahunnya, menurut laporan WHO sekitar 2 kasus baru muncul di Indonesia. Perbandingan dengan negara tetangga, di China muncul 5 kasus setiap tahun, India 3 kasus, Philiphina 4 kasus, Malaysia 0,1 kasus, dan Singapura 0,2 kasus.
MDR TB menunjukkan Mycobacterium tuberculosis telah resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum, resistensi terhadap obat tuberculosis dikatakan sebagai resistensi primer jika pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB, resistensi inisial jika tidak diketahui pasti apakah pasien sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak, dan resistensi sekunder jika pasien telah memiliki riwayat pengobatan sebelumnya. “Upaya yang paling baik dan harus dilakukan adalah mencegah  terjadi pasien mendapat MDR-TB karena tertular langsung dari penderita yang mengalami MDR-TB,” ujar Elisna.
Obat anti TB (OAT) bukanlah penyebab resistensi, plasmid juga tidak terbukti memiliki peran dalam resistensi obat. Mutasi gen pada bakteri mycobacterium tuberculosis itu yang dapat menjelaskan terjadinya resistensi obat. Mutasi yang merupakan peristiwa acak dan sekuensial. Beberapa gen yang resisten terhadap obat anti TB seperti gen katG, inhA, Nadh, dan ahpC yang terkait resisten terhadap INH. Gen yang terkait resisten terhadap Rifampicin adalah gen rpoB yang berfungsi dalam RNA polymerase, sedangkan gen pncA yang terkait resisten terhadap pyrazinamid.

Dokter Berperan sebagai Penyebab MDR

Faktor yang memicu terjadinya MDR-TB datang dari berbagai pihak. “Dari pasien dan juga dari dokter,” ujar Elisna. “Pasien bandel, tidak patuh meminum obat, atau masalah ketiadaan uang atau transportasi berobat,” ujarnya. Faktor lain dari pasien adalah malabsorpsi obat, reaksi obat yang merugikan, hambatan sosial untuk kepatuhan pengobatan, hingga gangguan ketergantungan obat.
Ketidak tahuan dan ketidak waspadaan dokter tentang kemungkinan terjadinya MDR-TB menjadi salah satu faktor yang bisa menyebabkan resistensi itu, menurut Elisna. Dokter yang memberikan kombinasi atau dosis obat yang tidak sesuai guideline. “Pengobatan kerap dilakukan ‘in the dark’ untuk kasus-kasus terapi ulang, tanpa adanya uji sensitivitas obat,” ujar Elisna. Clinical Error juga bisa terjadi dengan adanya fenomena addition syndrome, yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obat kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi obat yang tinggi serta kurangnya monitoring dan awaraness dari petugas kesehatan turut mempengaruhi timbulnya kejadian MDR TB.
Faktor lain yang juga turut mempengaruhi terjadinya resistensi obat adalah faktor yang terkait dengan program pelayanan kesehatan, seperti akses pelayanan kesehatan yang tidak konsisten, ketidaktersediaan obat karena tidak ada obat atau karena masalah distribusi, kualitas obat yang buruk, atau masalah penyimpanan yang tidak memadai. Faktor lain adalah program pengendalian TB yang tidak terorganisasi dengan baik, atau mengalami kendala dana, tidak tersebar meratanya guideline untuk penatalaksanaan terutama pelayanan kesehatan swasta dan kurangnya sarana laboratorium uji yang memadai.
“Jika MDR TB tidak dicegah, maka resistensi dapat terjadi lebih lanjut yang mengakibatkan XDR-TB yang sangat sulit diterapi,” tegas Elisna. Strain XDR-TB teah teridentifikasi di semua belahan dunia dengan prevalensi sebesar 7 persen pada kasus MDR-TB. Malah studi baru-baru ini di Afrika Selatan menunjukkan tingkat mortalitas yang tinggi pada pasien XDR-TB yang juga telah terjangkit HIV.
Frame pemikiran untuk pencegahan MDR-TB, menurut Elisna, harus ditanamkan saat dilakukan pengobatan TB kasus baru . Identifikasi suspek yang resisten terhadap OAT perlu dilakukan, yaitu jika tidak terjadi konversi sputum pada 2 bulan pertama kasus TB paru BTA positif, atau kegagalan pengobatan kategori I dan II, atau terjadinya kekambuhan penyakit, pasien mengalami putus obat, riwayat pengobatan gelap, terjadi kasus TB kronik, dan adanya kontak dengan pasien yang memang sudah mengalami MDR TB.
Dr. Priyanti Z. Soepandi, SpP(K) dalam satu acara ilmiah di Jakarta mengatakan, pasien MDR TB harus diterapi dengan paduan khusus yang terdiri atas obat-obat lini kedua. Direktur RS Persahabatan ini mengatakan untuk MDR-TB paling sedikit harus diberikan 4 macam obat yang diketahui atau dianggap sensitive untuk diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang berpihak kepada pasien, dan konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan. Uji kepekaan obat digunakan sebagai paduan pengobatan. “Jangan gunakan siprofloksasin sebagai OAT dan jangan gunakan obat yang terdapat resistensi silang,” ujar Priyanti.
Uji kepekaan untuk diagnosis MDR-TB dapat dilakukan di lima laboratorium rujukan, 2 terdapat di Jakarta, dan lainnya di Bandung, Surabaya, dan Makasar. Identifikasi MDR bisa memakan waktu 6 hingga 14 minggu, dan jika dugaan resistensi obat sangat kuat, sampel atau spesimen dikirim ke laboratorium rujukan sekaligus dilakukan konsultasi dengan RS rujukan. RS rujukan untuk kasus MDR-TB atau XDR saat ini adalah RS Persahabatan Jakarta, RS Dr. Soetomo Surabaya, RS Labuang Aji Makasar, dan RS Syaiful Anwar Malang.
Strategi pengobatan dilakukan dengan DOTS plus. Plus berarti menggunakan obat-obat TB linikedua dan kontrol infeksi. “DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak menggunakan staretgi DOTS,” ujar Priyanti. Dalam pengobatan MDR-TB terdapat tambahan pertimbangan pengobatan, seperti menggunakan Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk mengawasi pengobatan, pemberian OAT harus setiap hari dan tidak boleh intermitten, lama pengobatan minimum 18 bulan setelah kultur konversi, dan penggunaan obat suntik minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah konversi. Definisi konversi dahak adalah pemeriksaan dahak secara mikroskopik dan biakan 2 kali berturut-turut dengan jarak 30 hari dengan hasil negative pada pasien yang sebelumnya positive. Paduan standar dapat diubah berdasarkan faktor-faktor berikut antara lain, jika tidak ada respon terhadap pengobatan dan riwayat penggunaan sebelumnya maka diberikan levofloxacin dosis tinggi (1 gram) dan PAS, yang merupakan obat dengan aktiviti bakteriostatik. Faktor lain yang dapat dijadikan alasan paduan standar adalah jika terjadi efek samping yang sudah diidentifikasi, dan terjadi perburukan sebelum dan sesudah konversi.
Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi Maret 2011 , Halaman: 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar